Jumat, 06 Maret 2009

Papua, LAZIMNYA, sebuah rumah diisi oleh ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan. Mereka berkumpul bersama dan saling berbagi kasih di bawah satu atap.

Namun, kelaziman ini justru dipandang asing bagi masyarakat suku Amungme. Lebih dari sekadar hal yang asing, berkumpulnya laki-laki dan perempuan meski berstatus saudara sedarah dalam satu rumah adalah hal yang tabu dalam budaya Amungme.

Karena itu para kepala keluarga diwajibkan membangun dua buah honae (rumah asli suku-suku pegunungan di Papua) untuk tempat tinggal anggota keluarga mereka berdasarkan jenis kelamin.

Para keluarga Amungme hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok berisi sejumlah keluarga, berkisar antara 10-15 keluarga. Terbentuknya kelompok-kelompok keluarga ini karena terbatasnya tanah datar yang dapat dipakai untuk membangun tempat tinggal. Lereng-lereng yang curam juga mengakibatkan jarak antarkelompok menjadi saling berjauhan.

Umumnya dalam sebuah kelompok terdiri atas satu 'Itorei' (honae untuk laki-laki), beberapa 'Ongoi' (honae untuk perempuan), dan dapur. Jarak antarhonae tidak saling berdekatan untuk menyisakan sebidang lahan sebagai tempat bakar batu.

Honae itu sendiri adalah sebuah bangunan yang berbentuk seperti tabung silinder. Berdinding dan berlantai kayu dengan sebuah pintu untuk keluar-masuk rumah.

Agar tidak masuk angin

Dari segi arsitektur rancang bangun, honae yang dibangun dengan bentuk silinder bukanlah tanpa maksud. Dengan bentuknya yang melingkar di semua sisi, bangunan ini dapat menahan kerasnya terpaan angin kencang yang sering terjadi di Pegunungan Papua.

Tepat di tengah ruangan, di permukaan lantai, dibangun perapian yang berfungsi utama sebagai penghangat ruangan dan penerangan di malam hari. Ruangan bagian dalam mereka gunakan untuk tempat berkumpul sekaligus ruang tidur anggota keluarga. Hanya satu jendela kecil yang dimiliki oleh setiap honae.

Jendela sengaja dibuat kecil untuk mempersempit celah udara yang masuk dari luar. Hawa dalam ruangan akan terasa hangat dan dapat mengusir dinginnya hawa pegunungan.

Honae biasanya ramai di malam hari setelah pada siang harinya para anggota keluarga beraktivitas di luar honae. Sambil berkumpul, mereka memasak umbi-umbian dengan cara meletakkannya di dalam abu hasil kayu yang terbakar. Abu hasil kayu bakar ini dapat dipakai untuk memasak umbi-umbian hingga matang dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Untuk tempat tinggal anggota keluarga laki-laki, honae dibangun lebih besar supaya mampu menampung orang yang lebih banyak. Jari-jari lingkaran honae sekitar tiga meter.

Honae laki-laki biasanya digunakan untuk rapat keluarga besar. Sesuai dengan kebiasaan laki-laki Amungme yang sering berjalan jauh hingga berhari-hari, honae laki-laki sering menerima tumpangan bermalam para tamu.

Ini berbeda dengan honae perempuan. Anak-anak kecil masih diperbolehkan tinggal di honae perempuan, bercampur dengan ibu mereka. Pertimbangannya, anak-anak itu, laki-laki dan perempuan, dianggap masih bergantung kepada asuhan ibunya.

Media yang baru pertama kali merasakan bermalam di honae, ternyata tidak dapat tidur nyenyak meski hawa sudah hangat. Kecilnya celah untuk sirkulasi udara membuat asap hasil perapian kayu bakar tidak dapat keluar dengan baik. Ruangan dipenuhi asap yang terus mengepul. Karena itu, langit-langit honae berwarna hitam legam akibat terpanggang asap.

Selain itu, kebiasaan masyarakat yang tidak menggunakan alas kaki saat beraktivitas juga membuat lantai honae menjadi kotor. Pasir dan serpihan tanah yang memenuhi lantai honae membuat tidur menjadi tambah tidak nyaman meski malam telah larut.

Tidak ada komentar: